Apa Itu Thrifting? Lebih dari Sekadar Beli Baju Bekas.
RewearNews
11/7/2025


Makna Kata dan Asal Usul
Istilah “thrifting” berasal dari kata bahasa Inggris “thrift” yang secara harfiah berarti “hemat” atau “menghindari pemborosan”.
Kemudian, “thrifting” secara teknis merujuk pada kegiatan membeli barang bekas atau digunakan kembali (second-hand) bisa di toko barang bekas, pasar loak, garage sale, atau toko thrift-shop.
Menurut sebuah sumber, konsep “thrift” sendiri sudah muncul sejak abad ke-1300-an di Inggris sebagai ide pemanfaatan sumber daya dengan hati-hati.
Dengan demikian, ketika kita berbicara “thrifting” di Indonesia, maknanya bukan sekadar “membeli baju bekas” saja, melainkan juga mencakup aspek penghematan, pemanfaatan ulang, dan gaya hidup yang lebih sadar.
Kenapa Thrifting Menjadi Gaya Hidup di Indonesia
Di Indonesia, fenomena thrifting telah berkembang cukup pesat, terutama di kalangan anak muda dan komunitas fashion. Berikut faktor yang menjelaskan kenapa thrifting menjadi gaya hidup:
a) Faktor Ekonomi dan Tren
Thrifting menawarkan alternatif bagi mereka yang ingin tampil modis atau memiliki barang dengan merek ternama namun dengan biaya yang lebih terjangkau.
Di tengah situasi ekonomi yang mungkin kurang stabil atau saat harga barang baru meningkat, pilihan barang bekas menjadi menarik.
Studi juga menunjukkan bahwa di Indonesia, thrifting mulai dikenal luas sekitar akhir 1990-an hingga awal 2000-an, dan salah satu kota yang cukup aktif adalah Bandung.
b) Identitas, Eksplorasi Gaya dan Unikitas
Barang thrift seringkali menghadirkan pilihan yang unik, berbeda dari produk massal di toko biasa. Hal ini memberi ruang bagi seseorang untuk mengekspresikan gaya pribadinya.
Beberapa pengguna thrifting menyebut pengalaman “berburu” barang sebagai semacam aktivitas eksplorasi: mendapatkan “harta karun” di antara tumpukan pakaian bekas.
c) Kesadaran Lingkungan dan Gaya Hidup Berkelanjutan
Dalam konteks global dan lokal, industri fashion cepat (fast-fashion) dan produksi massal pakaian baru menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti limbah tekstil, pencemaran air, dan emisi karbon.
Dengan melakukan thrifting—memakai ulang barang bekas yang masih layak pakai—kita ikut memperpanjang siklus hidup barang dan mengurangi konsumsi barang baru yang padat sumber daya.
d) Aspek Sosial dan Budaya
Thrifting di Indonesia juga memiliki latar belakang sosial: misalnya pada masa krisis moneter akhir 1990-an, membeli barang baru menjadi lebih sulit bagi sebagian orang, dan barang bekas menjadi pilihan realistis.
Di kota-kota seperti Bandung bahkan terdapat pasar pakaian bekas yang menjadi bagian dari budaya lokal.
Lebih dari Sekadar “Membeli Baju Bekas”
Meskipun banyak yang memahami thrifting sebagai “membeli baju bekas”, berikut poin penting yang menunjukkan bahwa ia lebih dari itu:
Kualitas dan kondisi barang: Tidak semua barang bekas itu sembarangan. Banyak toko thrift atau penjual barang bekas yang memilih barang-barang yang masih layak pakai dan masih memiliki nilai.
Ekspresi gaya pribadi: Barang-barang thrift bisa memberikan karakter dan cerita, berbeda dari busana massal yang mudah ditemui.
Dampak lingkungan & etika konsumsi: Dengan memilih thrifting, seseorang bisa mengambil bagian dalam gaya hidup yang lebih sadar terhadap konsumsi, sumber daya, dan keberlanjutan.
Ekonomi sirkular & keberlanjutan sosial: Kegiatan barang bekas memperpanjang siklus pemakaian barang serta bisa menjadi wadah bagi komunitas—misalnya pasar loak, toko thrift-shop, atau usaha kecil yang menangani barang preloved.
Jadi, ketika kita berbicara “thrifting”, kita sebenarnya bicara tentang lebih dari sekadar ‘belanja baju bekas murah’. Kita bicara tentang:
Memaknai kembali konsep penghematan dan pemanfaatan ulang (thrift)
Mengekspresikan gaya pribadi yang unik dan sadar terhadap tren
Mengambil bagian dalam gerakan konsumsi yang lebih ramah lingkungan
Menjadi bagian dari budaya urban yang dinamis dan kreatif
